Menyaksikan puluhan pedagang asong di
sepanjang jalan tol Cileunyi siang kemarin ketika saya berangkat ke Jakarta,
serasa melihat parade pejuang keluarga mengatasi kesulitan hidup. Hidup mereka dan keluarga sangat tergantung
dari julah tahu yang laku dalam kardus, sepikulan cilok, sekarung krupuk
kulit. Menjemput rezeki dari satu bus ke
bus lain yang terus mengalir, bergerak dari waktu kewaktu. Mereka terus bergerak sampai batas letih,
menghirup harapan yang tipis. Persis seperti O2 yang tipis di udara yang
dihirupnya. Ruang udara didominasi oleh karbon monoksida yang berasal dari knalpot mobil bus, angkot, motor yang seolah
berlomba mengirimkan polusi pada paru-parunya.
Saya menatap lekat pada wajah-wajah
berkeringat, dengan suara-suara berisik menawarkan tahu, dorokdok, cilok, kue
onde, air mineral, dan tissue. Mencoba memasuki ruang harapannya yang
sederhana, bahwa hari ini harus dapat uang, karena uang adalah satu-satunya
instrumen untuk menjalankan hidup, mengurusi istri, anak dan bahkan mungkin
ibunya. Aku masuk terus menerka gambar hati mereka menemui semangat dan daya juang
yang dititipkan oleh sang Khalik pada setiap langkahnya. Hidup adalah relasi tugas dan peran, antara
yang memberi dan diberi, antara yang tugas membangun dan menyediakan bahan
bangunan, antara produksen dan konsumen, antara pemikir dan pekerja. Mereka menjemput rizkinya yang dititipkan pada para
penumpang. Sebaliknya saya dan para
penumpang serta para pengguna jalan menerima rezeki makanan dari mereka. Siapapun jarang yang merencanakan secara
detail tentang jenis, jumlah, harga, dan kualitas makanan yang akan
dikonsumsinya secara detail, tiba-tiba kehidupan/para pedagang asong itu
mengantarkan makanan ke lambung kita.
Di negeri ini struktur ekonomi telah lama
jomplang, sebagian kecil konglomerat difasilitasi habis-habisan oleh negara
melalui monopoli, HPH, BLBI, soft loan, konsensi tambang, dll sehingga mereka
menguasai kue pembangunan terbesar. Di sisi lain sekelompok besar masyarakat
yang tidak punya akses pada sumber daya politik, kapital, dan kekuasaan termarginalisasi.
mereka berebut bagian kue pembangunan yang porsinya kecil. Tentu saja strategi apapun, sekeras apapun
dalam berusaha, berebut di ruang ekonomi kecil hanya membuat orang saling
meratakan kemiskinan. Kita mengenal
bahasa paciwit ciwit lutung, kasihan
banget sang lutung, mungkin sudah
penuh luka, setiap saat diciwit si kuku
tajam perebutan porsi ekonomi kecil oleh sebagian besar masyarakat. Pada pedagang
asong, tukang ojek,kuli bangunan, dan buruh tani diantaranya.
Para pedagang asong barangkali tidak pernah
berfikir untuk melakukan survey jumlah
mobil yang lewat di Cileunyi, jumlah penumpang potensial, puncak kunjungan,
rata-rata selera, kepuasan, dan apalagi merumuskan target pemasaran, membuat
cahsflow, analisis persaingan, dan strategi pemasaran agar meraka menjadi
pedagang paling laris . Kalau kita
meminta mereka melakukan itu kita akan segera disebut “bodoh, tidak waras,
ngada-ngada, aneh-aneh saja”. Memang
kehidupan mereka tidak dimulai dari analisis, mereka dimulai dari bekerja, dan
kemudian hidup mengajarinya bagaimana bertahan, barang apa yang laku dijual,
dan bagaimana cara menjual, alhasil
mereka tetap bertahan, walaupun dalam tingkat kelayakan hidup yang
minimal.
Pada para pedagang asong itu, betapapun mereka
sangat terbatas, telah mangajari kita untuk belajar untuk menjalani hidup
dengan penuh keberanian walaupun secara analisis sudah sangat kecil peluangnya.
Belajar menyisihkan rasa malu, memulai dengan bekerja, tanpa terlalu lama
dianalisis tekstual. Belajar bagaimana
mengatasi keterbatasan. Belajar mensyukuri uang kecil dengan senyuman, belajar
sabar dan pantang menyerah. Saatnya kita
belajar pada orang-orang kecil, jangan terlalu terpaku pada orang-orang besar. Ada realitas/figur lain selain Chairul Tanjung,
Surya Paloh, Aburizal Bakeri, Ahmad Heryawan, Dede Yusuf, dan Aceng Fikri,
realitas/kehidupan pedagang asong yang seperti remeh temeh tetapi menyimpan pesan besar kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar