Senin, 15 Juli 2013

jangan jadi bupati garut bila tidak aware ITC


Aura PILKADA Garut di akhir masa jabatan Aceng Fikri makin ramai oleh para balonbup yang mulai ekpose; heboh karena banyak sekali peminat (menurut beberapa pihak sampai dengan awal Tahun 2013 teridentifikasi mencapai 50 orang, dan sedikit menggelikan melihat para kontestan kurang siap banyak yang terlampau memaksakan diri.  Hasrat kekuasaan di Kabupaten Garut tumbuh seperti kecambah di musim hujan, bermunculan gambar wajah balonbup di pohon-pohon  nyaris di setiap penjuru Kabupaten Garut. Kemuculan “wajah” balonbup di bawah-bawah pohon itu mendapat momentum ketika  citra Aceng Fikri  yang gembos baik akibat diekspose cinta kilat di media masa secara berlebihan maupun prestasi yang  memble selama masa kepemimpinannya. 
Era aceng fikri secara politik sudah tamat, kini warga Garut mengharap balon bupati baru. Kira-kira berharap muncul jokowi garut, mungkin saja bernama ahmad, asep, jajang, cecep, dudung, dedeng, dicky kalau perlu Balonbup naturalisasi (seperti Jakarta yang import dari solo), yang penting tidak terlalu banyak korupsinya; anteng rumah tangganya; ramah orangnya; dan dapat memilih kawan yang baik-baik saja, maksudnya kawan pengusaha yang siap untuk normal-normal saja tidak untung fantastis dengan mengorbankan fisik bangunan, menggerogoti kualitas jalan, mencuri volume di proyek kirmir.
Masyarakat Garut dewasa ini disuguhi kenyataan banyaknya figur yang bermodal wawasan dan kapasitas pas pasan untuk menjadi kepala daerah.  Kita sering tidak habis pikir melihat banyak sekali orang Garut yang percaya diri berlebihan untuk maju tanpa konsep dan kepantasan -setidaknya menurut ukuran subyektif saya. Maaf: tidak layak bahkan untuk jadi ketua RW.  Kekuasaan difahami sebagai kapal keruk kapital, pusaran kebanggaan, dan instrumen untuk narsis pada tingkat paling TOP.  Proses demokratisasi difahami sebagai sebuah judi kekuasaan melalui peruntungan, dalam bahasa sunda dikenal dengan kata “susuganan”; “sugan jeung sugan”; “lalamiran”; “boa-boa”. Utopia kolektif mimpi  jadi bupati dengan modal pengetahuan sekelas RW.
Mungkin saya terlampau subyektif dengan statement pengetahuan sekelas RW, tapi ada beberapa alasan yang mendukung asumsi tersebut: pertama, mayoritas Calon hanya memahami birokrasi seperti kebanyakan orang awam, coba tanyakan kepada para calon itu alasannya ingin jadi bupati, anda akan mendengar jawaban klise “membangun perubahan”; “ngomean garut”; “dek kusaha deui lamun lain ku urang”. Pertanyaan berikutnya yang dapat ditanyakan adalah bagaimana caranya? Pertanyaan anda yang sangat teknis akan dijawab dengan diplomatis dan politis misalnya: dengan kata-kata “kita benahi birokrasi”, “kita berantas korupsi”; “  yang penting keteladanan”,  “kita buat program yang berbasis aspirasi”. Seluruh jawaban itu sama sekali tidak mencerdaskan dan sekali lagi sangat klise.
Garut membutuhkan bupati yang sangat kuat di level konsep dan operasional, yang besedia memahami sampai detail, dan dalam kompleksitas SDM, proses perencanaan sampai dengan pelaporan, wilayah yang luas, SKPD yang banyak; kepentingan yang tumpang tindih. Sudah seharunya Bupati masa depan mamanfaatkan ICT. ICT dapat digunakan dalam relasi pemerintah kepada pemerintah, pemerintah dengan masyarakat, pemerintah dengan dunia usaha.  Ke depan idealnya tidak ada lagi “proposal dadakan” yang mendistorsi pola dasar pembangunan; Kades yang meninggalkan basis pembinaan sekedar untuk “mendagangkan” proposal ke DPRD, BAPPEDA, Dinas Teknis; kita juga tidak ingin saksikan tumpukan kertas laporan sekolah dari ratusan sekolah di Disdik yang tidak dapat dievaluasi karena banyak  volumenya dan data dalam bentuk hard copy.  Setidaknya kita dapat mengutip prinsip manajemen produktivitas total bahwa, tidak ada  data tidak ada yang bisa diukur, tidak ada yang bisa diukur tidak ada perbaikan. Nah jadi siapapun bupatinya kalau tidak dapat mereenggeneering proses data menjadi lebih update, relevan, akurat, dan lengkap.  Maka tidak diharapkan ada perbaikan, akhirnya yang dijadikan ukuran hanya asumsi, mitos, persepsi, dan tentu saja like and dislike. Jadi mengukur diri, mari belajar lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar