Banyak orang kesal ketika
pohon-pohon di pinggir jalan dipaku dan ditempeli poster balon bupati, balon
gubernur, bahkan balon presiden. Pohon
yang berfungsi untuk menetralisasi gas karbon monoksida dari buangan knalpot
mobil dan motor ditambah lagi funginya menjadi tiang kampanye. Pohon-pohon itu
disakiti untuk satu tujuan: kekuasaan yang retorikanya untuk pembangunan, untuk
kebaikan, untuk kemajuan, untuk lingkungan yang lebih baik.
Salah satu calon mencoba lebih
bijak dengan memasang poster di jembatan-jembatan. Mungkin ingin lebih
bersahabat dengan pohon, walaupun tetap harus ada maintenance karena
jangan-jangan ada tiang dan media poster yang jatuh ke sungai. Tentu saja
sungai juga perlu disayangi.
Di dalam poster itu saya melihat
orang-orang mimpi, guyon, dan
memoles-moles muka biar lebih ganteng dan cantik dibanding aslinya.
Saya melihat semakin banyak orang
menampilkan mimpi jadi bupati dipohon-pohon dan di ruang public yang seharusnya
kita benahi, kita bersihkan dengan sepenuh hati, kita rawat dan kita jaga
batang dan daun-daunnya. Sayang mimpinya
hanya mimpi dirinya sendiri, karena saya, teman saya, dan banyak orang lain
tidak sungguh-sungguh terlibat dalam mimpi mereka. Kita diajak untuk menjadi
bagian dari mimpi mereka. Seharusnya
mereka menjadi bagian dari mimpi masyarakat.
Di batang pepohonan yang diam
menangis itu saya juga lihat banyak pejabat publik dan politisi berguyon. Bukankah
guyon kalau ada orang mengajak membangun, padahal kampanya saja dari menghisap
APBD, di sisi lain mengajak berubah, padahal partainya status quo, ada yang
tampil sangat innocent dan pampak shaleh padahal sehari-hari hanya sibuk mengklaim
“kapling akhirat” seolah-olah pihak lain selalu tidak benar. Sibuk mengamankan
kepentingannya untuk orang-orangnya saja dengan sebisa mungkin monopoli program
dan jabatan dengan alasan karena
orang-orangnya lebih benar, bukan sibuk mengajak orang yang mereka tuding
sebagai tidak benar menjadi lebih benar.
Selebihnya pohon-pohon itu
berfungsi sebagai ruang salon tempat para politisi yang kita cintai memoles
wajah mereka. Mereka tampil lebih
ganteng, lebih murah senyum, lebih cantik, lebih pintar, lebih ramah
dibandingkan aslinya…
Tentu saja boleh, karena
betatapun jauh dari karakter aslinya kita tidak bisa menuntut mereka karena
terlibat “kebohongan public” dalam memasang wajah, ekspresi dan statement mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar