Senin, 15 Juli 2013

Pohon Bukan Tiang Poster Kampanye

Banyak orang kesal ketika pohon-pohon di pinggir jalan dipaku dan ditempeli poster balon bupati, balon gubernur, bahkan balon presiden.   Pohon yang berfungsi untuk menetralisasi gas karbon monoksida dari buangan knalpot mobil dan motor ditambah lagi funginya menjadi tiang kampanye. Pohon-pohon itu disakiti untuk satu tujuan: kekuasaan yang retorikanya untuk pembangunan, untuk kebaikan, untuk kemajuan, untuk lingkungan yang lebih baik.
Salah satu calon mencoba lebih bijak dengan memasang poster di jembatan-jembatan. Mungkin ingin lebih bersahabat dengan pohon, walaupun tetap harus ada maintenance karena jangan-jangan ada tiang dan media poster yang jatuh ke sungai. Tentu saja sungai juga perlu disayangi.
Di dalam poster itu saya melihat orang-orang mimpi, guyon,  dan memoles-moles muka biar lebih ganteng dan cantik dibanding aslinya.
Saya melihat semakin banyak orang menampilkan mimpi jadi bupati dipohon-pohon dan di ruang public yang seharusnya kita benahi, kita bersihkan dengan sepenuh hati, kita rawat dan kita jaga batang dan daun-daunnya.  Sayang mimpinya hanya mimpi dirinya sendiri, karena saya, teman saya, dan banyak orang lain tidak sungguh-sungguh terlibat dalam mimpi mereka. Kita diajak untuk menjadi bagian dari mimpi mereka.  Seharusnya mereka menjadi bagian dari mimpi masyarakat.
Di batang pepohonan yang diam menangis itu saya juga lihat banyak pejabat publik dan politisi berguyon. Bukankah guyon kalau ada orang mengajak membangun, padahal kampanya saja dari menghisap APBD, di sisi lain mengajak berubah, padahal partainya status quo, ada yang tampil sangat innocent dan pampak shaleh padahal sehari-hari hanya sibuk mengklaim “kapling akhirat” seolah-olah pihak lain selalu tidak benar. Sibuk mengamankan kepentingannya untuk orang-orangnya saja dengan sebisa mungkin monopoli program dan jabatan dengan alasan  karena orang-orangnya lebih benar, bukan sibuk mengajak orang yang mereka tuding sebagai tidak benar  menjadi lebih benar.
Selebihnya pohon-pohon itu berfungsi sebagai ruang salon tempat para politisi yang kita cintai memoles wajah mereka.  Mereka tampil lebih ganteng, lebih murah senyum, lebih cantik, lebih pintar, lebih ramah dibandingkan aslinya…
Tentu saja boleh, karena betatapun jauh dari karakter aslinya kita tidak bisa menuntut mereka karena terlibat  “kebohongan public” dalam memasang wajah, ekspresi dan statement mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar